Sunday, October 28, 2012

anak jalanan

-->
Bottom of Form


Anak Jalanan dan Eksklusi Sosial
Anak jalanan sudah lama menyita perhatian penentu kebijakan di Departemen Sosial dan pemerintahan daerah di kota-kota besar. Diasumsikan, jumlah mereka di 12 kota besar di Indonesia sebanyak 100.000 jiwa tahun 2009, dan jumlah terbesar diperkirakan berada di Ibukota. Mereka  selalu terkait dengan kriteria yang dikenakan kepada mereka oleh pemerintah, yaitu anak yang berusia 5-18 tahun, yang menghabiskan sebagai besar waktunya di jalan, untuk mencari nafkah, atau berkeliaran di jalan raya atau tempat-tempat umum. Waktu yang dihabiskan sekitar 4 jam per hari, pola pengalokasian waktu serupa terus dilakukan hingga mereka menemukan sumber nafkah lain, atau lingkungan sosial yang dapat menampung mereka.
Eksistensi mereka terpaut dengan perlakuan dan kondisi dalam keluarga, kemiskinan, perceraian orangtua, minimnya perhatian dari lingkungan sosial, dan tendensi memprioritaskan uang dari pada bersekolah atau melakukan kegiatan lain. Terdapat empat tipe anak jalanan yaitu: yang masih tinggal dengan orangtua, yang memiliki orangtua tetapi tidak tinggal dengan mereka, yang tidak memiliki orangtua, tetapi tinggal dengan keluarga tertentu, dan yang tidak memiliki orangtua dan tidak tinggal dengan keluarga. Pekerjaan utama mereka adalah pengamen, ojek payung, pengelap mobil, pembawa belanja di toko atau pasar dan peminta-minta.
Fenomena anak jalanan ini banyak menimbulkan pertanyaan, siapakah seharusnya yang harus bertanggung jawab atas mereka? Undang-Undang Dasar 1945 hasil amendemen, Pasal 34 Ayat 1 menyebutkan bahwa "Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara". Diktum konstitusi ini jelas memberikan kewenangan pada negara untuk mengurus dan bukannya untuk menangkapi anjal. Atensi utama pada pemeliharaan, penanganan dan pemberdayaan, tampaknya belum dipahami secara merata di semua instansi pemerintah tentang mandat konsitusi untuk memperhatikan kelompok marginal; seperti fakir miskin dan anak telantar. Landasan konstitusional dengan indikator terukur tersurat dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 34 Ayat 2 bahwa "Negara mengembangkan suatu jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan".

Eksklusi Sosial
Prioritas konstitusional agar negara berperan aktif dalam membanguan manusia agar lebih bermartabat, menjadi antitesis dengan kondisi objektif mutu hidup manusia Indonesia saat ini, dan secara khusus masa depan dan perlakuan terhadap anak jalanan. Martabat (integrity) manusia Indonesia menjadi buram karena balutan kemiskinan, dan mutu hidup mayoritas manusia Indonesia yang masih di bawah standar minimum. Di Indonesia, jaringan sosial sangat minim dikembangkan lintas institusi negara, institusi keagamaan, institusi etnis, dan institusi golongan. Penangan fakir miskin dan anak jalanan masih menjadi dominasi lembaga pemerintah (Kementerian Sosial); dan institusi lainnya didaulat untuk ikut berpartisipasi, sebab ketiadaan dana, daya dan sumberdaya manusia yang memadai. Sekat-sekat kelembagaan dalam menangani kelompok marjinal, seperti anak jalanan tampaknya belum berubah sejak rezim Orde Baru, di mana hegemoni dan dominasi negara begitu menonjol.
Keberadaan mereka dan fakir miskin tidak terlepas dari peranan dan kebijakan negara, yang belum tuntas dan komprehensif ditangani. Keberpihakan negara terhadap para pemilik modal, penguasa dan makelar tanah dan makelar kasus, tanpa berpihak pada anjal dan kelompok marjinal, berdampak pada semakin banyaknya warga negara Indonesia yang hidup tanpa martabat. Integritas tidak selalu harus dipertautkan dengan kepemilikan material, tetapi martabat mempunyai kaitan dengan hak-hak dasar manusia untuk diperlakukan dan ditangani secara manusiawi. Kebijakan yang berpihak kepada kelompok penguasa dan para kapitalis merupakan sumber bencana sosial, yang tidak kalah dahsyatnya dari bencana alam. Proses peminggiran masyarakat secara sistematik jelas tampak pada keberpihakan pemerintah pada para elit dan pemilik modal, dan menomorduakan Anak jalanan dan fakir miskin. Proses yang direncanakan atau tidak direncanakan masuk ke ranah eksklusi sosial dengan dampak masif dan sulit diatasi, sebagaimana tantangan anjal bagi pemerintah saat ini.
Ambiguitas pendekatan terhadap anjal masih terasa parsial dan mengedepankan ego sektoral setiap institusi, yang belum sanggup disinergikan menjadi satu kekuatan nasional, untuk memerangi akar kemiskinan dan eksklusi sosial yang semakin parah. Program inklusi sosial untuk membawa balik anjal ke lingkungan hidup yang memadai sangat minim, dan penanganan saat ini terkesan kosmetik, dan tidak membedah akar permasalaham eksklusi sosial, termasuk anjal. Fungsi "Rumah Singgah" sebagai wadah berkumpul anjal hanyalah program sejenak dan tidak akan mereduksi akumulasi anjal, apabila kebijakan yang "pro poor", program inklusif bagi anjal dan fakir miskin tidak tersinergikan secara nasional, maka program penanganan Anjal akan terkesan populis. Nyatanya, keberadaan Anjal dan fakir miskin di Indonesia adalah juga buah dari pembangunan nasional yang parsial, temporer, dan sektoral semata.
John Haba, Peneliti PMB-LIPI
Sumber : Suara Pembaruan, 26 Januari 2010


Beda lagi cara di daerah YOGYA untuk menuntas kan masalah anak jalanan. Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta berencana memasang papan imbauan kepada masyarakat agar tidak memberikan uang kepada anak jalanan di 16 titik perempatan jalan yang ada di Kota Yogyakarta.

Tahun lalu sebenarnya imbauan agar tidak memberikan uang kepada anak jalanan sudah ada, tetapi baru dalam bentuk tulisan di spanduk, dan tahun ini diganti dengan papan permanen dengan tiang dari besi, kata Kepala Bidang Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta Siwi Subekty Astuti di Yogyakarta, Senin (27/4).

Menurut dia, alasan pemasangan papan imbauan untuk tidak memberikan uang kepada anak jalanan tersebut demi keselamatan anak jalanan itu sendiri. Sejatinya, pemberian uang adalah tindakan yang tidak mendidik.

Dengan adanya papan imbauan tersebut, masyarakat kemudian diharapkan untuk mengalihkan sumbangan ke lembaga-lembaga sosial yang ada.

Beberapa perempatan jalan yang akan dipasangi dengan papan imbauan tersebut di antaranya adalah perempatan Gondomanan di empat sudut, Pingit (empat sudut), Wirobrajan (dua sudut), SGM (dua sudut), Abu Bakar Ali (dua sudut), dan Pojok Benteng Kulon (dua sudut).

Siwi menyatakan, tidak semua sudut perempatan jalan dapat dipasangi papan imbauan karena ada beberapa titik perempatan yang sudah penuh dengan papan reklame atau terhalang rumah yang sudah menjorok ke jalan.

Papan imbauan tersebut rencananya akan divisualisasikan melalui gambar seorang ibu dalam mobil yang tengah memberikan uang kepada anak jalanan. Dalam gambar yang diambil dari foto asli kemudian dikaburkan itu juga akan dilengkapi dengan tulisan yang berbunyi ?Peduli Tidak Sama dengan Memberi Uang. Salurkan Uang Receh Anda pada Organisasi Sosial dan Keagaaman?. Di dalam gambar juga akan ditambah dengan tanda silang merah, yang berarti bahwa tindakan itu seharusnya tidak dilakukan, katanya.

Siwi menyatakan, jumlah perempatan yang akan dipasangi papan imbauan akan bertambah dan akan dipikirkan mengenai sanksi kepada masyarakat apabila kedapatan memberikan uang kepada anak jalanan. Kami akan mengundang pihak kecamatan untuk membahasnya. Persoalan anak jalanan ini akan coba ditangani melalui usaha berbasis masyarakat, ujar Siwi.

Menurut dia, dalam upaya menangani permasalahan anak jalanan berbasis masyarakat, telah digulirkan sejumlah dana, yaitu Rp 30 juta untuk tingkat Kota Yogyakarta dan total Rp 65 juta untuk 14 kecamatan. Kami berharap tidak ada benturan dari masyarakat tentang penanganan anak jalanan ini sehingga program-program selanjutnya bisa dilakukan, katanya.

Dinsosnakertrans juga akan melakukan identifikasi masalah anak jalanan dengan melakukan kuisioner yang diharapkan dapat memberi gambaran kondisi yang dialami oleh anak jalanan sehari-hari. Setelah proses identifikasi, baru kami bisa mengetahui cara penanganannya melalui upaya preventif selain semi represif, katanya.
Jadi menurut saya  Akar persoalan anak jalanan adalah kemiskinan sehingga penanganan dari masalah sosial ini harus berawal dari kemiskinan itu sendiri yang menyebabkan mereka turun ke jalan.




contoh la prolog



 menu :-
write('-------MENU-------'),nl,
write('1. silsilah'),nl,
write('2. Nilai'),nl,
write('3. EXIT'),nl,
write('Masukkan pilihan : '), read(PIL), nl,

(PIL=1,nl,

write('nama anda :'),read(G),nl,
KAKEK = ('slamet',G),
write('nama kakek anda:'),write(KAKEK),nl,


menu;
PIL=2,nl,
write('Nilai'),nl,
write('Masukkan Nilai uts : '),read(P),nl,
write('Masukkan Nilai uas : '),read(L),nl,
V is (P+L)/2,
write('nilai anda : '),write(V),nl,


menu;
PIL=3,nl,
write('Makasih'),nl).